Manusia Pembelajar (Prisoner of God)
Clock
Senin, 06 April 2015
Rabu, 05 Maret 2014
Tiga Hakikat Pembelajaran
“Non Scholae Sed Vitae Discimus”
adalah pepatah dalam bahasa Latin klasik. Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
berarti “Belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup”.
Menurut ‘Manusia Pembelajar’ -Andrias Harefa-, esensi pembelajaran tidak
bisa lepas dari tiga tugas pokok manusia: pertama, menjadi manusia
pembelajar yang belajar terus-menerus di “sekolah besar” kehidupan nyata untuk
semakin memanusiawikan dirinya; kedua, menjadi pemimpin sejati dengan
cara mengambil prakarsa dan menerima tanggung jawab untuk menciptakan masa
depan bagi dirinya, lingkungannya, perusahaan atau organisasi di mana ia bekerja; ketiga, bertumbuh menjadi guru bagi
bangsanya, bagi bangsa-bangsa, dan bagi umat manusia di “sekolah besar”
kehidupan.
Menjadi Pembelajar
Seseorang yang karena belajar pada akhirnya akan menyadari
bahwa pembelajaran bukanlah soal nilai (angka) melulu. Pembelajaran dimaknai
sebagai sebuah proses pencarian yang terus-menerus. Hanya dengan cara demikian,
seseorang akan, dan bahkan sudah dibentuk menjadi manusia yang semakin manusia
(humaniora).
Salah satu tugas manusia adalah menjadi pembelajar. Artinya
manusia harus berproses memanusiakan dirinya untuk: belajar tentang
(learning how to think), belajar -dalam arti praktik- (learning how to
do) dan belajar menjadi (learning to be). Inilah keunikan dan
keistimewaan manusia sebagai ciptaan yang luhur dibandingkan dengan berbagai
makhluk dan ciptaan Tuhan yang lain, khususnya dengan binatang. Manusia dapat belajar
tentang, belajar dan belajar menjadi dirinya sendiri,
sementara binatang hanya dimungkinkan untuk belajar saja. Binatang tidak
dapat belajar tentang, apalagi belajar menjadi. Sebagai contoh:
kita dapat mengajar dan melatih binatang untuk melakukan banyak hal, seperti
lumba-lumba yang dapat menghitung, gajah yang bisa melukis, anjing yang bisa
menangkap dengan tangkas dan cekatan sesuatu yang kita lemparkan, dan lain
sebagainya. Akan tetapi mereka (binatang) tidak dapat menyadari keberadaanya
atau merenungi hakikatnya sebagai binatang, apalagi berproses menjadi
dirinya sendiri.
Manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan yang dibekali
kemampuan untuk belajar tentang, agar ia dapat belajar menjadi
dengan cara belajar. Dengan merenungkan hakikat dirinya, mencari jati
dirinya dan menghayati keberadaannya sebagai “apa” dan “siapa”, manusia
dimampukan untuk dapat menempatkan dirinya dalam suatu hubungan dengan Sang
Penciptanya. Inilah Hakikat pembelajaran yang pertama.
Menjadi Pemimpin
Semua orang adalah pemimpin. Dalam
bukunya, Menjadi Manusia Pem-belajar -On Becoming a learner-, Andrias
Harefa berpendapat: Menjadi pemimpin adalah panggilan tugas kemanusiaan yang
kedua dari tiga tugas pokok manusia. Setelah menjalankan fungsinya/tugasnya
sebagai pembelajar, manusia dituntut untuk menjadi pemimpin, baik bagi dirinya
sendiri maupun bagi orang lain. Proses dari seorang pembelajar menjadi seorang
pemimpin adalah proses yang senantiasa harus dilewati oleh orang yang dewasa
dan mandiri.
Bagaimana membedakan seorang
pembelajar dengan seorang pemimpin? Salah satu cara untuk membedakan seorang
pembelajar dengan seorang pemimpin adalah bahwa pembelajar sedang
berusaha mengenali kekuatan, bakat, talenta, dan juga kelemahan-kelemahannya
sebagai seorang anak manusia, dan berjuang untuk menerima diri apa adanya,
sedangkan pemimpin secara relatif telah menemukan dan menerima
“semuanya” itu dengan penuh rasa syukur serta mulai menggunakannya bagi
kepentingan dirinya sendiri dan juga orang lain.
Dari salah satu contoh
inilah (dimana masih ada banyak contoh), kita dapat menyimpulkan bahwa
dunia dipenuhi oleh pembelajar, tetapi tidak semuanya mampu mengembangkan diri,
menyatakan diri dan memenuhi panggilan tugas menjadi pemimpin. Hal itu berarti menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah. Meski
demikian setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin menurut ruang
lingkup kepemimpinan, keluasan dan kedalamannya sendiri. Semua ini bergantung
pada kemauan untuk “menembus batas” dari pembelajar menjadi pemimpin. Pembelajaran
membuka pintu gerbang kemungkinan untuk menjadi manusia dewasa dan mandiri.
Artinya, pembelajaran memungkinkan seorang anak manusia berubah dari “tidak
mampu” menjadi “mampu”, atau dari “tidak berdaya” menjadi “sumber daya”.
Disinilah hakikat pembelajaran yang kedua.
Menjadi Guru
Peran, tugas dan
tanggung jawab sebagai pemimpin bukanlah peran, tugas dan tanggung jawab
tertinggi yang dapat “dimainkan” atau bukan panggilan termulia bagi seorang
anak manusia. Ia masih dimungkinkan untuk bertumbuh lebih jauh dengan menjadi
manusia guru. Ketika seseorang disebut-sebut sebagai “pemimpin besar” (a great
leader), dengan demikian ia juga dapat disebut sebagai menjadi guru.
Sang guru adalah pendamping utama kaum pembelajar,
orang-orang muda dan benih-benih kehidupan masa depan, dalam proses menjadi
pemimpin. Sang guru dirasakan kehadirannya, ia dikenal luas justru karena tidak
menganggap penting lagi popularitas, kedudukan dan kekuasaan (politik) yang
mungkin dimiliki oleh seorang pemimpin.
Seorang anak manusia hanya dimungkinkan “menjadi pemimpin”
dengan memikul beban tanggung jawab dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan seorang
pemimpin. Seorang anak manusia dimungkinkan “menjadi guru”, dengan memainkan
peran dan menunaikan tanggung jawab sebagai guru.
Semuanya merupakan tantangan yang bersifat individual-personal (sebagai
pembelajar), lalu berkembang menjadi tantangan kelompok-organisasional sampai
nasional (sebagai pemimpin), dan kemudian bermuara menjadi tantangan global
universal yang menyangkut kepentingan seluruh umat manusia (sebagai guru).
Inilah hakikat ketiga dari pembelajaran.
Demikianlah, manusia akan dapat memenuhi tiga tugas pokok,
tanggung jawab dan panggilan universalnya untuk semua orang sebagaimana
mestinya dengan menjadi seorang pembelajar, menjadi seorang pemimpin dan
menjadi seorang guru.
Langganan:
Postingan (Atom)