Clock

Rabu, 05 Maret 2014

Tiga Hakikat Pembelajaran



“Non Scholae Sed Vitae Discimus” adalah pepatah dalam bahasa Latin klasik. Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “Belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup”. Menurut ‘Manusia Pembelajar’ -Andrias Harefa-, esensi pembelajaran tidak bisa lepas dari tiga tugas pokok manusia: pertama, menjadi manusia pembelajar yang belajar terus-menerus di “sekolah besar” kehidupan nyata untuk semakin memanusiawikan dirinya; kedua, menjadi pemimpin sejati dengan cara mengambil prakarsa dan menerima tanggung jawab untuk menciptakan masa depan bagi dirinya, lingkungannya, perusahaan atau organisasi di mana ia bekerja; ketiga, bertumbuh menjadi guru bagi bangsanya, bagi bangsa-bangsa, dan bagi umat manusia di “sekolah besar” kehidupan.

Menjadi Pembelajar
Seseorang yang karena belajar pada akhirnya akan menyadari bahwa pembelajaran bukanlah soal nilai (angka) melulu. Pembelajaran dimaknai sebagai sebuah proses pencarian yang terus-menerus. Hanya dengan cara demikian, seseorang akan, dan bahkan sudah dibentuk menjadi manusia yang semakin manusia (humaniora).
Salah satu tugas manusia adalah menjadi pembelajar. Artinya manusia harus berproses memanusiakan dirinya untuk: belajar tentang (learning how to think), belajar -dalam arti praktik- (learning how to do) dan belajar menjadi (learning to be). Inilah keunikan dan keistimewaan manusia sebagai ciptaan yang luhur dibandingkan dengan berbagai makhluk dan ciptaan Tuhan yang lain, khususnya dengan binatang. Manusia dapat belajar tentang, belajar dan belajar menjadi dirinya sendiri, sementara binatang hanya dimungkinkan untuk belajar saja. Binatang tidak dapat belajar tentang, apalagi belajar menjadi. Sebagai contoh: kita dapat mengajar dan melatih binatang untuk melakukan banyak hal, seperti lumba-lumba yang dapat menghitung, gajah yang bisa melukis, anjing yang bisa menangkap dengan tangkas dan cekatan sesuatu yang kita lemparkan, dan lain sebagainya. Akan tetapi mereka (binatang) tidak dapat menyadari keberadaanya atau merenungi hakikatnya sebagai binatang, apalagi berproses menjadi dirinya sendiri.
Manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan yang dibekali kemampuan untuk belajar tentang, agar ia dapat belajar menjadi dengan cara belajar. Dengan merenungkan hakikat dirinya, mencari jati dirinya dan menghayati keberadaannya sebagai “apa” dan “siapa”, manusia dimampukan untuk dapat menempatkan dirinya dalam suatu hubungan dengan Sang Penciptanya. Inilah Hakikat pembelajaran yang pertama.

Menjadi Pemimpin
            Semua orang adalah pemimpin. Dalam bukunya, Menjadi Manusia Pem-belajar -On Becoming a learner-, Andrias Harefa berpendapat: Menjadi pemimpin adalah panggilan tugas kemanusiaan yang kedua dari tiga tugas pokok manusia. Setelah menjalankan fungsinya/tugasnya sebagai pembelajar, manusia dituntut untuk menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Proses dari seorang pembelajar menjadi seorang pemimpin adalah proses yang senantiasa harus dilewati oleh orang yang dewasa dan mandiri. 
            Bagaimana membedakan seorang pembelajar dengan seorang pemimpin? Salah satu cara untuk membedakan seorang pembelajar dengan seorang pemimpin adalah bahwa pembelajar sedang berusaha mengenali kekuatan, bakat, talenta, dan juga kelemahan-kelemahannya sebagai seorang anak manusia, dan berjuang untuk menerima diri apa adanya, sedangkan pemimpin secara relatif telah menemukan dan menerima “semuanya” itu dengan penuh rasa syukur serta mulai menggunakannya bagi kepentingan dirinya sendiri dan juga orang lain.
Dari salah satu contoh  inilah (dimana masih ada banyak contoh), kita dapat menyimpulkan bahwa dunia dipenuhi oleh pembelajar, tetapi tidak semuanya mampu mengembangkan diri, menyatakan diri dan memenuhi panggilan tugas menjadi pemimpin. Hal itu berarti menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah. Meski demikian setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin menurut ruang lingkup kepemimpinan, keluasan dan kedalamannya sendiri. Semua ini bergantung pada kemauan untuk “menembus batas” dari pembelajar menjadi pemimpin. Pembelajaran membuka pintu gerbang kemungkinan untuk menjadi manusia dewasa dan mandiri. Artinya, pembelajaran memungkinkan seorang anak manusia berubah dari “tidak mampu” menjadi “mampu”, atau dari “tidak berdaya” menjadi “sumber daya”. Disinilah hakikat pembelajaran yang kedua.

Menjadi Guru
 Peran, tugas dan tanggung jawab sebagai pemimpin bukanlah peran, tugas dan tanggung jawab tertinggi yang dapat “dimainkan” atau bukan panggilan termulia bagi seorang anak manusia. Ia masih dimungkinkan untuk bertumbuh lebih jauh dengan menjadi manusia guru. Ketika seseorang disebut-sebut sebagai “pemimpin besar” (a great leader), dengan demikian ia juga dapat disebut sebagai menjadi guru.
Sang guru adalah pendamping utama kaum pembelajar, orang-orang muda dan benih-benih kehidupan masa depan, dalam proses menjadi pemimpin. Sang guru dirasakan kehadirannya, ia dikenal luas justru karena tidak menganggap penting lagi popularitas, kedudukan dan kekuasaan (politik) yang mungkin dimiliki oleh seorang pemimpin.
Seorang anak manusia hanya dimungkinkan “menjadi pemimpin” dengan memikul beban tanggung jawab dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan seorang pemimpin. Seorang anak manusia dimungkinkan “menjadi guru”, dengan memainkan peran dan menunaikan tanggung jawab sebagai guru. Semuanya merupakan tantangan yang bersifat individual-personal (sebagai pembelajar), lalu berkembang menjadi tantangan kelompok-organisasional sampai nasional (sebagai pemimpin), dan kemudian bermuara menjadi tantangan global universal yang menyangkut kepentingan seluruh umat manusia (sebagai guru). Inilah hakikat ketiga dari pembelajaran.
Demikianlah, manusia akan dapat memenuhi tiga tugas pokok, tanggung jawab dan panggilan universalnya untuk semua orang sebagaimana mestinya dengan menjadi seorang pembelajar, menjadi seorang pemimpin dan menjadi seorang guru.